TASAWUF mempunyai seperangkat
peristilahan teknis yang khas bagi kaum sufi. Pengertian dari istilah-istilah
itu bisa amat berbeda dari yang umumnya dipahami lewat doktrin-doktrin yang
diajarkan oleh institusi agama formal. Meskipun demikian, semua pengertian itu
sesungguhnya bersumber pada ajaran-ajaran Rasul dan Kitabullah. Sama sekali
tidak melepaskan diri dari kedua-duanya.
Seperti iman, butiran iman, fitrah,
tauhid, sirr, takwa,
khusyu', ihsan, ikhlas, syirik, nafsu,jihadunnafs, hati, roh, rasa, al-faqir, murid, guru, zikir,
ahli zikir, al-Ghaib,
al-ghuyub, taubat,zuhud, qana'ah, tawakkal, 'uzlah, syari'at, thariqat,
haqiqat, dan ma'rifat,
untuk menyebut beberapa di antara peristilahan yang demikian itu.
Bagi sufi Syaththari, pengertian yang
hakiki (yang dirasakan dalam rasa hati) baru bisa diperoleh setelah terbukanya
hati, roh dan rasa, terhadap Keberadaan Diri Tuhan Zat Yang Al-Ghaib (tidak
pernah menampak di dunia dan di bumi ini), namun mudah sekali untuk merasakan
dalam rasa hati, sangat dekatnya Dia kepada manusia. Dalam menjalani kehidupan
di dunia, para sufi berupaya memproses diri mereka untuk mendekat kepada-Nya (taqarruban
ilallaah) hingga sampai bertemu dengan Diri-Nya (inilah surga atau jannah mereka yang sesungguhnya) di Akhirat.
Pengertian iman : Iman dalam pengertian
sufi adalah sesuatu (Nur atau Cahaya Ilahi) yang masuk ke dalam hati insan yang
telah siap menerimanya (karena merasa butuh kepada-Nya). Kesiapan itu
ditandai dengan kehendak dan harapan bertemu dengan-Nya (oleh karena itu, insan
yang demikian disebut murid, yaitu orang yang berkehendak bertemu Tuhannya).
Kesiapan ditandai
pula dengan tekad kuat untuk melakukan peperangan terbesar (jihadul akbar),
yaitu memerangi nafsu dan membunuh watak akunya (jihadunnafs), sehingga
nafsunya (yang wujudnya adalah jiwa raganya) tunduk dan patuh untuk dijadikan
kendaraan (buraq) bagi hati, roh dan rasa, berjalan mendekat hingga
kembali kepada-Nya dengan selamat (bi qalbin salim) dan rasa bahagia
selama-lamanya.
Bagi sufi, Nur Ilahi ini haknya memang berada di dalam
hati. Sedangkan semua yang lain harus dikeluarkan dari dalam hati (makna tashfiyatul qalbi) sehingga
yang senantiasa diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati hanyalah Keberadaan
Zat Al-Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya ini saja.
Nur Ilahi ini lalu
dirasakan membutir di dalam rasa hati menjadi butiran iman. Mereka yang telah
mencapai maqam ini biasa disebut Asysyaththar.
Dengan Nur Ilahi
ini, hati seorang sufi menjadi seakan-akan memandang kepada Wajah-Nya (tawajjuh),
yaitu merasakan Keberadaan-Nya secara jelas dan nyata dalam rasa hati, di dalam
setiap amal dan perbuatannya di mana saja, kapan saja, dan sedang dalam kondisi
apa pun. Dengan cara inilah, semua amal dan perbuatannya dapat terhubung erat
dan menyatu dengan Tuhannya. Dalam keadaan demikian, Tuhan selalu membuatnya
melakukan perbuatan yang dikehendaki-Nya.
Perjalanan hidup
seorang sufi adalah memproses diri untuk selalu menyatukan perbuatan yang lahir
(zhahir) dan yang batin (bathin), yaitu menyatukan syariat
(aturan-aturan formal agama) dan hakikat, dilakukan secara bersamaan
sebagaimana tidak terpisahnya jiwa dan raga selama hidup di dunia ini.
Mengapa bisa
demikian? Karena yang lahir (syari'at) dikerjakan oleh jasad yang tampak
oleh mata kepala. Bersamaan dengannya, yang batin (hakikat) dilakukan
oleh hati, roh dan rasa, yang sama sekali tidak kasat mata (dibangsakan gaib,
tetapi bukan Al-Ghaib-Nya Tuhan) Lompatan
iman Mereka, para sufi, mengalami
pengalaman lompatan iman (yaitu menyatunya ilmu tauhid, takwa,
khusyu', ihsan dan ikhlas, dalam rasa hati) dalam pelaksanaan aturan-aturan
formal agama yang disampaikan lewat guru (mursyid) kepadanya. Terutama
sekali, lompatan iman ini terealisasi dalam hal menegakkan
salat untuk mengingat-ingat keberadaan Diri Ilahi (bukan mengingat-ingat arti
bacaan salat).
Bahkan, bisa
dikatakan, lebih kepada mengintai-intai keberadaan Diri-Nya sehingga dirinya
(si pelaku shalat) tidak lagi merasa melakukan salat, karena perhatiannya
sepenuhnya terserap kepada Diri-Nya. Hanya salat yang demikian saja yang
dipastikan dapat mencegah diri dari perbuatan yang keji dan munkar (tanha
'anil fahsya wal munkar).
Begitu pula halnya
dalam menafkahkan sebagian rezeki halal yang diperolehnya, dikeluarkan dengan
mudah di jalan-Nya (seperti memenuhi hak-hak tanggungannya dan menolong
orang-orang yang sangat membutuhkan), karena dirinya sudah tidak lagi merasa
memiliki apa saja.
Bahkan, salat yang
khusyu' ini bagi sufi merupakan cara (hati) mengembalikan jasad manusia kepada unsur-unsurnya
(yaitu tanah, air, api, dan udara). Pengembalian ini terus menerus dilakukan
sebelum mati, yang sebenarnya ditemui (muutuu qabla anta muutuu).
Pengembalian ini
dimaksudkan agar tidak menjadi penghalang (hijab) mata hatinya guna
melihat Wajah-Nya hingga dapat selamat bertemu dengan-Nya di Akhirat kelak.
Selain pengembalian
jasad, sufi memproses pengembalian roh (terjadi dalam penghayatan rasa
hatinya), karena roh ini milik-Nya jua (Ruh Ilahi), sehingga apa saja
(termasuk keberadaan dirinya dan perbuatannya) yang semua itu adalah milik-Nya,
tidak lagi diaku dan dirasa miliknya.
Dengan demikian,
sufi menjalani kehidupan di dunia ini tetap sebagaimana mestinya manusia biasa
hidup di dunia, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan asasinya dan mengatasi masalah-masalahnya,
tetapi niat dan tekadnya (membuktikan makna zuhud dan 'uzlah)
sama sekali tidak untuk hidup berdunia dengan nafsu dan watak akunya.
Niat dan tekad
hidupnya senantiasa tetap untuk memproses diri mendekat kepada-Nya demi
mencapai cita-cita dan tujuan hidup, semata-mata bertemu dengan-Nya Yang Kekal
Abadi.
Berbeda dengan Freud
Freud menganggap
pengalaman keagamaan manusia adalah refleksi dari rasa takut yang berlebihan
(sebagaimana tulisan Luthfi Assyaukanie berjudul Agama dalam Batas Iman Saja,Kompas,
Sabtu 3 September 2005, hlm. 52).
Tidak sebagaimana
Freud, pengalaman keagamaan seorang sufi dilandasi oleh kesadaran al-faqir, yaitu merasa diri
tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak tahu apa-apa, bahkan bukan
apa-apa. Juga, dilandasi rasa syukurnya terhadap banyaknya pemberian Tuhan
kepadanya. Pemberian jiwa raga dan keberlangsungan hidupnya di dunia, ini saja
sudah cukup banyak baginya.
Sufi meyakini
pemberian terbesar dalam kehidupannya (al-kautsar) adalah masuknya
butiran iman (Nur Ilahi) ke dalam (rasa) hatinya, sehingga lalu
memfungsikan mata hatinya (yang ada di dalam hati, ruh dan rasa) dapat dengan
mudah dan indah merasakan Keberadaan-Nya yang sungguh-sungguh dekat sekali
kepadanya (bahkan lebih dekat dari jiwa raganya sendiri).
Nikmatnya zikir
(mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Zat Yang Al-Ghaib) dalam
rasa hatinya pun lalu terbukti. Inilah rahasia kebenaran mutlak Al-Haqq-Nya yang sama sekali
tak terungkap dalam kata-kata dan tak terjangkau akal pikiran.
Seperti rahasia rasa
asin, hakikatnya tak terungkap dan tak terpikir kecuali satu-satunya cara
merasakan keberadaannya adalah dengan mencicipi garamnya. Padahal, garam ini
masih bisa dilihat mata dan masih bisa dipikirkan akal.
Apalagi terhadap
Tuhan Yang Al-Ghaib, sama sekali mustahil untuk mencerapnya dengan indra dan
akal. Sejauh-jauh jangkauan akal manusia akhirnya hanya akan sampai pada
kesimpulan hukum sebab-akibat penciptaan saja.
Setelah hati
mengenali Keberadaan-Nya (ma'rifatullah), akal yang lalu tercerahi
Cahaya Ilahi pun tak mampu mengingkari Keberadaan-Nya Yang Esa dan Mutlak. Meskipun
demikian, akal tercerahkan ini tetap saja bungkam seribu bahasa tak mampu
memaparkan-Nya, sebagaimana ia pun tak mampu memaparkan hakikat rasa asin.
Rahasia rasa (sirr)
inilah yang sebenarnya menjadi dasar manusia. Buktinya, kehidupan tanpa rasa
akan menjadikan kehidupan ini hambar sama sekali.
Akan tetapi ternyata
semua rasa duniawi (termasuk rasa suka maupun duka yang dialami manusia)
mendindingi atau menutup rapat-rapat rasa asli (sebagai hakikat insan) untuk
merasakan Keberadaan Diri-Nya Zat Yang Wajib Wujud-Nya.
Setelah manusia
tumbuh dalam kehidupan berdunia yang berporoskan nafsu dan watak akunya, mata
hatinya lalu menjadi buta sama sekali. Akibatnya, manusia tidak lagi percaya
bisa mengenali-Nya, apalagi hingga sampai bertemu dengan-Nya.
Terobosan kreatif
Menurut keyakinan
sufi sejati, khususnya sufi Syaththari, Tuhan telah menyiapkan terobosan kreatif bagi umat beragama (siapa saja) yang
merasa butuh kepada-Nya, sebagai wujud belas kasih-Nya kepada mereka. Yaitu,
membentuk di tengah-tengah mereka seorang pembimbing sejati (syaikh atau
guru mursyid) yang akan
menunjukkan Keberadaan-Nya Yang Al-Ghaib dan menuntun hamba-Nya di jalan lurus
menuju kepada-Nya, hingga sampai dengan selamat kembali kepada-Nya.
Sang pembimbing
(yang tidak akan pernah berani mengaku, karena tidak merasa menjadi Guru) ini
pertama-tama mengisikan butiran iman (Nur Ilahi) ke dalam rasa hati
murid (orang yang berkehendak bertemu Tuhannya). Hal ini kemudian menghidupkan
dan mencerahkan hati, ruh, dan rasanya, sehingga mencahaya dengan senantiasa
mengingat-ingat dan menghayati Keberadaan Diri-Nya Ilahi. Mengubah dirinya menjadi insan cahaya
Tuhan.
Lalu, si murid selalu berusaha mengikuti
petunjuk Sang Pembimbing demi keberhasilannya memenangkan perang terbesar (jihadunnafs)
yang mau tak mau mesti diperjuangkan seumur hidupnya di dunia ini. Proses ini
diyakini kemudian akan mendatangkan fadhal dan rahmat Tuhannya yang
menyampaikannya kepada tujuan hidup dan cita-cita bertemu dengan Tuhannya.
Kebutuhan murid sufi terhadap mengadanya
seorang guru sejati baginya menjadi sangat penting dan perlu sekali, karena dia
sangat menyadari begitu samarnya (bagai sehelai rambut dibelah tujuh) jalan
menuju kepada-Nya. Juga, begitu halusnya (hingga tak disadari) bujuk rayu dan
godaan setan dan iblis, serta adanya (selama umur hidupnya di dunia) ajakan
nafsu yang selalu menyalahi kehendak-Nya dengan memerankan watak akunya.
Oleh karena itu, sang pembimbing sejati mestilah
mempunyai martabat mursyidun, murbiyyun,nashihun dan sekaligus kamilun, di dalam menjalankan
tugasnya membimbing murid sufi menuju keberhasilan cita-citanya.***
Komentar
Posting Komentar